Malam itu, hujan turun deras membasahi atap rumah tua di pinggir desa. Dita yang baru pindah dari kota, merasa rumah warisan neneknya itu terlalu sepi dan dingin. Suara derit kayu lantai terdengar jelas setiap kali ia berjalan. Di ruang tengah, tergantung foto hitam-putih seorang wanita tua dengan mata yang tampak seperti menatap langsung ke arah siapa pun yang melihatnya.

Saat tengah malam, Dita terbangun karena mendengar suara ketukan dari dalam lemari. Awalnya ia mengira itu hanya tikus, tapi suara itu terus berulang yaitu tiga ketukan pelan, lalu hening, lalu ketukan lagi. Dengan berani, ia membuka pintu lemari, namun hanya menemukan pakaian lama neneknya yang menggantung lusuh. Tapi ketika ia menutup lemari itu, ia melihat pantulan seorang wanita berdiri di belakangnya melalui cermin di dinding.

Dita menoleh cepat, namun tak ada siapa pun. Tapi tubuhnya mulai menggigil saat melihat jejak kaki basah mengarah dari pintu kamar ke tempatnya berdiri. Ia mencoba mengabaikannya dan kembali tidur, namun tak lama, suara bisikan lirih mulai terdengar di telinganya. Kata-katanya tak jelas, namun satu kalimat terdengar begitu jelas: "Kamu bukan cucuku."

Keesokan paginya, Dita menceritakan kejadian itu pada tetangga sebelah. Wanita tua itu terdiam sejenak, lalu berkata, “Rumah itu... sejak nenekmu meninggal, tak ada seorang pun yang diizinkan masuk. Bahkan jenazahnya pun tak pernah ditemukan. Mereka cuma nemu pakaian dan darah di ruang tengah.” Dita membeku. Ia baru sadar, malam sebelumnya ia tidur di ruang tengah.

Sejak saat itu, Dita tak pernah terlihat lagi di desa. Rumah tua itu kini benar-benar kosong. Tapi warga sekitar sering mendengar suara ketukan dari dalam... tiga kali, setiap tengah malam.