Telegram Web Link
𑣿 ‘aureole iridescent, mist.
Photo
ㅤㅤㅤㅤㅤA Mother’s Ghostly Love
              #FemaleUnmaskingTheSpirit

Di kaki sebuah gunung di Jawa Tengah, berdiri sebuah desa yang diselimuti kabut hampir setiap sore. Warga menyebut waktu antara senja dan malam sebagai waktu rawan, saat bayangan menebal, ayam berkokok pelan, dan angin membawa bisikan yang tidak ingin mereka dengar. Sejak lama, orang tua selalu memperingatkan anak-anak mereka untuk tidak bermain di luar rumah setelah matahari terbenam, karena pada jam itu, Wewe Gombel berkeliaran mencari anak-anak yang kesepian. Nama itu sudah melegenda turun-temurun di antara penduduk desa. Banyak anak kecil yang diancam dengan cerita tentang sosoknya, tapi tak banyak yang tahu asal-usul Wewe Gombel sebenarnya.

Dahulu, di masa kerajaan Jawa kuno, hiduplah seorang wanita yang menikah dengan lelaki pemalas dan kejam. Ia tetap setia, meski sering disakiti. Suatu hari, sang wanita mendapati suaminya berselingkuh. Dalam amarah dan kesedihan yang tak tertahankan, ia kehilangan akal sehat dan membunuh suaminya sendiri. Penduduk desa yang marah mengusirnya karena dianggap membawa aib. Tak sanggup menanggung rasa malu dan penyesalan, ia melarikan diri ke sebuah bukit bernama Gombel, lalu mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di bawah pohon besar. Namun arwahnya tidak pernah tenang. Dendam dan kesedihannya berubah menjadi kekuatan gelap, melahirkan sosok menyeramkan dengan wajah pucat, mata cekung, tubuh tinggi besar, dan payudara panjang menjuntai. Sejak saat itu, penduduk sekitar menyebutnya Wewe Gombel, sesuai dengan tempat di mana ia meninggal.

Konon, Wewe Gombel muncul saat senja atau malam hari, terutama ketika anak-anak sedang sendirian. Suatu malam, di tengah hujan rintik, seorang anak kecil bernama Rafi duduk di beranda rumahnya. Di dalam rumah, ayah dan ibunya bertengkar hebat. Tak ada yang menyadari bahwa Rafi keluar. Saat ia menangis pelan, tiba-tiba terdengar suara lembut dari arah jalan, seperti nyanyian keibuan, “Anak kecil jangan menangis… mari ikut ibu…” Rafi mendongak dan melihat seorang wanita berdiri di bawah lampu minyak. Rambutnya panjang terurai, gaunnya lusuh, tapi wajahnya terlihat lembut. “Kau sendirian, Nak? Ibu di mana?” tanya wanita itu dengan suara tenang. Rafi mengangguk, masih terisak. Wanita itu tersenyum dan berkata, “Mari ikut ibu, di sana hangat, tak ada yang memarahimu lagi.” Anak itu pun menurut, berjalan bersamanya menuju bukit yang diselimuti kabut. Sejak malam itu, Rafi tidak pernah terlihat lagi.

Keesokan paginya, penduduk desa menemukan jejak kaki kecil yang berhenti di bawah pohon besar di Bukit Gombel. Di sekitar sana, terdengar suara tawa kecil seperti anak-anak bermain, padahal tak ada siapa pun. Beberapa warga bersumpah melihat bayangan besar yang memeluk anak kecil sambil menenangkan tangis mereka. Mereka percaya, Wewe Gombel menculik anak-anak bukan untuk menyakiti, melainkan untuk melindungi mereka, khususnya anak-anak yang disia-siakan atau diperlakukan kasar oleh orang tuanya. Ia membawa mereka ke dunianya, memberi makan, menjaga, dan menenangkan mereka hingga orang tua mereka sadar dan menyesali perbuatannya. Setelah itu, anak-anak itu dikembalikan dengan selamat.

Sampai sekarang, setiap kali senja tiba dan langit berubah kemerahan, warga masih menutup jendela dan memanggil anak-anak mereka untuk pulang. Mereka bukan hanya takut pada Wewe Gombel, tetapi juga pada makna di balik kisahnya. Legenda itu mengingatkan bahwa tidak ada yang lebih menyakitkan daripada tangisan anak yang diabaikan. Dan di antara kabut yang turun perlahan di bukit itu, kadang masih terdengar nyanyian lembut dari jauh, membawa pesan yang sama dari masa lalu: “Aku tidak ingin menakutimu, Nak. Aku hanya tidak ingin kau sendirian.”
2
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
ㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤ   OKIKU’s LAMENT:
ㅤ  Where Silence Counteth Forever

ㅤㅤㅤ  Ratapan Okiku: Di Mana
   Keheningan Menghitung Selamanya


ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ☽༓☾

ㅤㅤI bring you a lament from the East🌹—where sorrow wears the face of beauty and silence carries the weight of grief. Within the pale stones of Himeji Castle dwells a spirit bound by numbers, forever seeking what was unjustly taken. Her voice drifts through the mist — soft, fragile, like a thread of broken lullabies.

ㅤㅤRemember this well — for her tale belongs to no time, and even centuries cannot bury her name. Beneath Japan’s quiet night sky, her tears still linger, mingling with the wind that sighs through forgotten corridors🌆

ㅤㅤ  The Legend of Himeji Castle
ㅤㅤ #FemaleUnmaskingTheSpirit
Please open Telegram to view this post
VIEW IN TELEGRAM
2
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
Forwarded from Xenyu's memories record.
𖤝. .they don't tell you of true insanity,
how it waves a
cruel symphony of dissonance
into cracked eyes and purple bones
(NOTHING IS YOURS)

how the mercury down your throat
slides easier than tequilla and
drives mania to torxg
any repose left in your lungs
to a crisp.


you turn a blind eye
as your vision fragments into a kaleidoscpoe of tessellations; fingers spun of liquid glass, leaving trails of delirium in their wake. you will never be the same.


‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ 💀..// WHATEVER YOU DO,
‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ DO NOT LOOK IN THE MIRROR


#FemaleUnmaskingTheSpirit
3
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
Forwarded from light blessed by God
FEMALE EVENT [OOC]

The Girl Who Never Left the Bathroom


seorang gadis; bayangan samar yang tertinggal di balik sekolah. hadiah gelap dari sesuatu yang tak bernama. ia bukan siapa-siapa, namun hari itu—ia ada.

kisah ini bermula di ruang kelas, kala senja belum sepenuhnya pulang. seluruh siswa tenggelam dalam sunyi, pena berlari di atas kertas. dua teman perempuan melangkah keluar, menuju kamar mandi di ujung koridor. biasa saja, pikirku. hingga salah satunya kembali lebih cepat dari seharusnya.

aku sempat memanggilnya, bertanya di mana temannya. tapi wajahnya pucat, matanya kosong, suaranya hilang entah ke mana. hanya duduk sebentar, lalu ia bangkit lagi dan pergi—tanpa sepatah kata pun.

tidak lama kemudian, dua-duanya muncul bersamaan. mereka datang dari arah yang sama, dari kamar mandi yang sama. dan ketika aku bertanya tentang kejadian tadi, satu di antara mereka menjawab dengan suara bergetar:

“kami tidak pernah berpisah… kami bergantian di kamar mandi. aku menunggu di depan pintu.”


sunyi tiba-tiba menelan ruangan. udara dingin menyelusup dari jendela, menabrak tengkuk. aku hanya mampu menatap kursi kosong yang tadi sempat diduduki sosok berwajah pucat itu.

dari sana aku tahu—apa yang kulihat bukan teman sekelasku. dan bukan aku saja yang menyadarinya. satu dari kami mulai mengaku, dia juga melihat hal yang sama. sosok yang duduk, menunduk, lalu menghilang.

malam itu kami sepakat: tidak ada yang perlu diingat. tidak ada yang perlu dibicarakan.
namun diam-diam, setiap kali aku melewati ruang kelas itu, di dindingnya selalu tampak sedikit lebih gelap—seolah menyimpan refleksi kejadian hari itu kembali.
3
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
Forwarded from Flourished Peony
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ𝗨𝗻𝗶𝘁 𝟮𝟯𝟬𝟵

Setelah kehilangan pekerjaan lamanya, Dira memutuskan pindah ke apartemen kecil di pusat kota, yang ia temukan melalui forum sewa daring. Berlokasi strategis, kamar bersih ber-AC, lengkap dengan lemari dan dapur kecil. Harga sewa per bulan nya pun terbilang sangat murah. Untuk kawasan elit seperti itu, hampir mustahil. Tapi si penjaga bilang, “Pemiliknya sedang baik hati, ingin cepat laku saja.”

Awalnya semua terasa sempurna. Malam-malamnya sunyi, lampu koridor selalu menyala, dan aroma pembersih lantai menenangkan. Tapi setelah dua minggu, tubuh Dira mulai aneh. Sering merasa menggigil, pundak terasa berat, dan setiap malam, ada rasa sesak yang muncul sekitar pukul tiga.

Suatu sore, ia mampir ke tukang pijat langganan di dekat kantor barunya. Saat ditanya tinggal di mana dan ia menyebut nama apartemennya, ibu tukang pijat itu mendadak diam.
“Unit berapa, Mbak?”
“2309.”
“Oh… di situ lagi ya. Mbak, kalau sering mimpi jatuh dari gedung… jangan didiemin. Itu bukan mimpi.”

Dira tertawa gugup, mengira hanya bercanda. Tapi malam itu, ia benar-benar bermimpi terjatuh — dan ketika bangun, kedua kakinya penuh memar seolah benar-benar terbentur sesuatu.

Beberapa hari berikutnya, ia makin sering lupa waktu. Kadang merasa hari sudah berganti padahal masih malam. Kadang bangun dengan baju kerja sudah rapi, padahal belum sempat tidur.
Yang paling menakutkan, ia mulai melihat bayangan perempuan di cermin kamar mandi berdiri di belakangnya, memakai pakaian yang sama.

Ketika Dira akhirnya memutuskan keluar, penjaga apartemen menatapnya dengan wajah datar.
“Sayang sekali, Mbak. Belum genap sebulan. Biasanya yang baru datang, cepat betah di situ.”
“Kenapa?”
“Karena mereka nggak sadar… yang mereka gantikan belum benar-benar pergi.”


Beberapa minggu kemudian, unit 2309 kembali dipasang di forum sewa.
Deskripsi iklannya masih sama:
Apartemen bersih, fasilitas lengkap, harga murah, lokasi strategis.
Dan di foto unggulannya, kalau diperbesar sedikit, di pojok kaca meja rias terlihat pantulan seorang perempuan berdiri di belakang kamera tersenyum samar, seolah menunggu penghuni baru.

#FemaleUnmaskingTheSpirit
2
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM

      
                  #FemaleUnmaskingTheSpirit



There are stories buried so deep in the cold that even time itself forgets them.
But the mountain remembers… it always does.
Beneath the silence of the snow lies a truth no one was meant to find.
Nine souls climbed into the storm that night…
and only the wind came back to tell their tale.

                     Let’s go back to 1959
        Deep in the frozen heart of Russia…
3
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
ㅤㅤ
☀️· · · They say a mirror never truly
sleeps. It listens, it breathes, it remembers.

ㅤㅤ
ㅤㅤThose who dared to gaze too long often spoke of whispers, faint and desperate, echoing beneath the silver sheen☀️. At first, they sounded like windgentle, almost pleading. But as nights stretched thin and shadows grew bold, the voices began to take shape—murmuring names that no one had uttered for years.

ㅤㅤOnce, someone tried to cover it—only to find the cloth soaked in tears that weren’t their own. Another tried to turn it to the wall, yet still, the whispers bled through the plaster, threading into dreams and prayers alike 🌟

ㅤㅤ  │“It was said the mirror fed
ㅤㅤ  │upon memory, savoring
ㅤㅤ  │fragments of those who
ㅤㅤ  │looked too deeply, keeping
ㅤㅤ  │what the world had
ㅤㅤ  │forgotten.
ㅤㅤ
ㅤㅤ
XV.XXIX – THE MIRROR OF MARIEL
#FemaleUnmaskingTheSpirit
Please open Telegram to view this post
VIEW IN TELEGRAM
2
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
ㅤㅤ

#FemaleUnmaskingTheSpirit🤩


Semarang punya banyak bangunan
tua. Tapi tidak semua bisa kamu
pandangi lama-lama.

Di atas bukit kecil Jalan Diponegoro,
ada satu hotel yang kini hanya
dihuni oleh bayangan dan suara
yang tak pernah berhenti berbisik.

Mereka menyebutnya…
Hotel Siranda.
ㅤㅤ
Please open Telegram to view this post
VIEW IN TELEGRAM
12
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
2025/11/07 04:51:02
Back to Top
HTML Embed Code: